Bangsa Indonesia merdeka pada tahun 1945,
sedangkan suatu bangsa yang merdeka harus memiliki mata uang sendiri dalam
system moneternya. Maka pada setahun berikutnya, tepat pada bulan oktober
1946 pemerintah Indonesia mengeluarkan mata uangnya sendiri yaitu Oeang
Repoeblik Indonesia (ORI).
Setelah diberlakukannya mata uang
ORI, mata uang sebelumnya, uang Jepang sudah tidak berlaku lagi. Pada saat
tersebut system moneter murni milik Indonsia telah berlaku. Mengingat
tahun-tahun pertama uang ORI, peredaran uang Indonesia mengalami pertumbuhan yang
lambat. Pemerintah saat itu hanya fokus kepada pertahanan keamanan bangsa,
bagaimana mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda.
Setelah kestabilan pertahanan
keamanan tercipta, presiden soekarno sebagai presiden pada masa orde lama mulai
memperhatikan kondisi perekonomian bangsa, dimulai dengan membangun
infrastruktur, menciptakan kestabilan harga, memciptakan kondisi ekonomi yang
sehat.
Perekonomian Moneter Periode 1959 -
1965
Perekonomian Indonesia mulai
mengalami shock pada tahun 1959, perekonomian mengalami resesi,
meningkatnya inflasi melebihi pertumbuhan ekonomi dimana pertumbuhan
ekonomi hanya berkisar 2%. Pemerintah mengambil kebijakan pengetatan moneter
untuk mengatasi tekanan moneter. Kebijakan ini tertuang pada UU No.2 dan UU No.
3 tahun 1959. Pemerintah mengambil kebijakan menurun jumlah uang beredar dengan
melakukan sanering yaitu menurunkan nilai mata uang Rp 500 dan Rp 1000 menjadi
Rp 50 dan Rp 100. Pemerintah juga membekukan simpanan giro dan deposito dan
melakukan pembatasan pemberian kredit secara kuantitatif dan kualitatif.
TItik puncak shock ekonomi yang terjadi pada periode
1960-an adalah akibat pengeluaran pemerintah membekak tajam. Program-program
mercusuar menambah kan pembiayaan-pembiayaan negara. Meningkatnya pengeluaran
pemerintah tidak diimbangi dengan kenaikan penerimaan. Defisit anggaran ini
dibiayai oleh pinjaman dari Bank Sentral sehingga uang beredar meningkat tajam
mencapai 1000% pada akhir 1966.
Kenaikan uang beredar yang tinggi tidak mendongkrak
pertumbuhan ekonomi. Sehingga hal ini mendorong terjadi hiperinflasi yang
mencapai 635%. Hiperinflasi menurunkan minat masyarakat untuk menabung.
Akhirnya perbankan kesulitan mendapatkan dana untuk bisa dijadikan modal
pemberian kredit. Melihat kondisi tersebut, perbankan hanya bisa meminjamkan
dana pada bank sentral. Namun kredit dari bank sentral pada dasarnya merupakan
penciptaan uang yang mengakibatkan jumlah uang beredar semakin bertambah.
Perekonomian Moneter Periode 1965 –
1969
Hiperinflasi yang terjadi menuntut
pemerintah mengambil kebijakan sanering lagi dari Rp 1000 menjadi Rp 1 sehingga
pada saat itu terdapat uang rupiah lama dan rupiah baru.
Pemerintah juga menggunakan instrument moneter berupa
kebijakan suku bunga tinggi, untuk mendorong hasrat masyarakat untuk menabung
melalui perbankan , sekaligus mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan
ini berjalan dengan sukses, dimana deposito berjangka meningkat dari Rp 4,5
miliar tahun menjadi Rp 33.,6 tahun 1969.
Pada kebijakan fiskal, pemerintah
mengambil kebijakan anggaran belanja berimbang. Tujuan adalah agar keuangan
pemerintah tidak lagi di topang dari pinjaman Bank Sentral, tapi dari
pembiayaan luar negeri. Sehingga tidak mempengaruhi uang yang beredar.
Dalam meningkatkan devisa, pemerintah melonggarkan pengawasan
devisa dengan menurunkan tarif ekspor dan impor dan memberikan izin bank asing
untuk beusaha di dalam negeri.
0 comments:
Post a Comment